PENGERTIAN
Swasembada dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan. Pengan adalah bahan-bahan makanan
yang didalamnya terdapat hasil pertanian,perkebunan dan lain-lain. Jadi
swasembada pangan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan
makanan sendiri tanpa perlu mendatangkan dari pihak luar.
Pencapaian
hasil sektor pertanian
Produk Domestik Bruto (PDB) sektor
pertanian tahun 2007 s/d 2008 mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu
sekitar 4.41 persen. Selain itu berdasarkan data kemiskinan tahun
2005-2008, kesejahteraan penduduk perdesaan dan perkotaan membaik secara
berkelanjutan. Berbagai hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar
kontribusinya dalam penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor
pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam menurunkan jumlah penduduk miskin
mencapai 66%, dengan rincian 74% di perdesaan dan 55% di perkotaan.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi
nasional, Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan
petani secara konsisten mengalami peningkatan selama periode tahun 2006-2008
dengan pertumbuhan sebesar 2,52 persen per tahun. Dengan kinerja yang kundusif
seperti itu, neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami peningkatan
secara konsisten selama periode 2005-2008 dengan rata-rata pertumbuhan 29,29
persen per tahun.
Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian 1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya sekitar 0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan rata-rata pertumbuhan nilai investasi sektor pertanian tahun 2005 – 2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain.
Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian 1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya sekitar 0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan rata-rata pertumbuhan nilai investasi sektor pertanian tahun 2005 – 2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain.
Selama periode 2004-2008 pertumbuhan
produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan.
Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG
tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila
dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton
(5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang
pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai
swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton.
Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana
terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari
2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh
Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan.
Demikian pula produksi jagung
meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering tahun 2004
menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun
2007, peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta
ton). Pencapaian produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi
tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Selanjutnya, produksi kedele
juga meningkat 2,98% per tahun dari 723 ribu ton biji kering tahun 2004 menjadi
761 juta ton biji kering tahun 2008 (ARAM III).
Peningkatan produksi tanaman pangan
yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula, sawit, karet, kopi,
kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor.
Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi
karena pengaruh berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan
harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis,
penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, dan penyuluhan..
Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri yang kondusif
sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas
kebijakan pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah
hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau relatif pendek.
Untuk komoditas sumber pangan lainnya, produksi gula/tebu juga meningkat 6,76% per tahun dari 2,05 juta ton tahun 2004 menjadi 2,85 juta ton tahun 2008 (ARAM III). Demikian juga untuk komoditas daging sapi, baik dari segi populasi maupun produksi daging meningkat cukup besar. Peningkatan populasi ternak mencapai 12,75% (dari 10,5 juta ekor tahun 2004 menjadi 11,87 juta ekor tahun 2008), sedangkan produksi daging sapi meningkat 3,83% (dari 339,5 ribu ton menjadi 352,4 ribu ton).
Untuk komoditas sumber pangan lainnya, produksi gula/tebu juga meningkat 6,76% per tahun dari 2,05 juta ton tahun 2004 menjadi 2,85 juta ton tahun 2008 (ARAM III). Demikian juga untuk komoditas daging sapi, baik dari segi populasi maupun produksi daging meningkat cukup besar. Peningkatan populasi ternak mencapai 12,75% (dari 10,5 juta ekor tahun 2004 menjadi 11,87 juta ekor tahun 2008), sedangkan produksi daging sapi meningkat 3,83% (dari 339,5 ribu ton menjadi 352,4 ribu ton).
Masalah
dan Tantangan dalam Pembangunan Pertanian
Tantangan dan permasalahan mendasar
pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana prasarana, permodalan,
pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan penanganan yang
berkelanjutan disamping munculnya persoalan-persoalan baru. Walaupun
dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor pertanian telah
mampu menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang menggembirakan.
Khusus untuk masalah lahan
pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain
disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua
dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978 – 1998, misalnya
konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha. Padahal
kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya lahan yang
terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih
memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi
berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak
terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah untuk
memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas jaringan
irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit
dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut
ke penggunaan lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non
pertanian).
Data empiris menunjukkan bahwa untuk
mencapai pertumbuhan produksi padi sawah 4,78 persen (Tahun 2003-2007),
dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah sebesar 2,47 persen. Hal ini
menunjukkan penambahan luas lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam
peningkatan produksi padi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar
dalam pembangunan pertanian, dimana selama periode 2002-2007, rata-rata
anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana
(infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan
sebesar 8,5 persen. Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%),
penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%).
Tidak hanya dalam pengelolaan sumber
daya alam, dalam kebijakan insentif harga juga dilakukan seperti pada kebijakan
insentif harga yang dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan
mendorong peningkatan harga beras sebesar 8,1%. Peningkatan harga beras
10% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1%.
Peningkatan harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara
makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan
harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada sebagian masyarakat
merasa dirugikan. Walaupun demikian keberhasilan pembangunan pertanian
bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga petani khususnya rumah tangga petani
padi dan palawija meningkat sebesar 4,06 persen.
Kebijakan
Pangan dari Masa ke Masa
Setelah satu abad, teori Malthus
akhirnya terbantahkan. Malthus memprediksi akan terjadinya kelaparan karena
tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk pangan dengan pertambahan penduduk.
Karena pesatnya ilmu pengetahuan, kemudian terjadilah revolusi hijau (green
revolution). Revolusi hijau dimulai dengan penemuan persilangan jenis gandum
yang responsif terhadap pupuk yang kemudian disilangkan dengan varietas asal
Jepang, dihasilkanlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan secara lebih
efisien. Rekayasa genetika ini dipelopori oleh pemenang hadiah nobel bidang
pangan dari AS, Borlaug. Pengembangan rekayasa genetika yang memberi manfaat
ini kemudian banyak disebarluaskan di berbagai belahan dunia, seperti di India,
Pakistan, Meksiko maupun beberapa belahan dunia lainnya.
Selanjutnya awal 60-an, IRRI (International
Rice Research Institute) sebagai lembaga riset dan penelitian beras
mengembangkan rekayasa genetika dengan mengembangkan “padi ajaib”, di mana
ditemukan padi dengan umur pendek dan jumlah produksi relatif besar. Itulah
yang kita kenal IR 5 dan IR 8. Inilah tonggak revolusi hijau di tahun 60-70-an.
Dengan penemuan semacam ini, prediksi bencana kelaparan dapat diminimalisasi.
Di era Orde Baru, pada saat
pemerintah bercita-cita mewujudkan swasembada pangan, pengembangan rekayasa
genetika sungguh sangat membantu untuk mewujudkannya.
Pada masa penjajahan Belanda dulu,
bidang pertanian banyak dikembangkan untuk kepentingan pemerintah penjajah
dengan menerapkan metode tanam paksa. Banyak hasil pertanian yang favorit dan
legendaris di pasaran internasional, seperti rempah-rempah, tembakau, kopi,
tebu, dan lain-lain. Di masa penjajahan Jepang, dengan metode kerja rodi,
Jepang memaksa para petani menanam berbagai hasil pertanian untuk kepentingan
mereka, seperti beras, jagung, dan pohon jarak sebagai bahan bakar.
Di awal kemerdekaan, pembangunan
pertanian dipengaruhi semangat nasionalisme dan untuk mencukupi seluruh
kebutuhan rakyat, terutama kebutuhan pokok, seperti beras, jagung, kedelai,
ketela, kacang tanah, dan kebutuhan akan ikan serta daging. Masih di era
ekonomi Soekarno tahun 60-an, pendekatan perencanaan pembangunan mulai
dicanangkan seperti intensifikasi, ekstensifikasi untuk mendukung memenuhi
kebutuhan pangan nasional. Walaupun dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat
memenuhi kebutuhan pangan secara penuh, bahkan terjadi lonjakan inflasi yang
cukup tinggi.
Di masa Orde Baru, dengan anggaran
APBN cukup besar yang melanjutkan program intensifikasi dan ekstensifikasi
dengan semangat swasembada pangan, akhirnya secara umum tercapai. Program
pengembangan infrastruktur begitu intensif seperti pembangunan irigasi, waduk
dan bendungan, pabrik pupuk di mana-mana dan berdiri berbagai lembaga
penelitian pangan. Kita masih ingat pemberdayaan petani cukup dominan, seperti
kelompencapir, sebagai media penyambung antara program pemerintah dengan
petani. Banyak program lain yang dijalankan, seperti kredit untuk tani, subsidi
pupuk, benih dan lain-lain. Hal itu didukung program transmigrasi serta
pemanfaatan lahan tidur yang disulap sebagai lahan pertanian. Terlepas dari
dampak negatif program-program tersebut, tetapi kebutuhan akan bahan pokok
makan terpenuhi. Tentu program ini berhasil, walaupun nasib dan derajat petani
belum sepenuhnya terangkat.
Pada era reformasi sekarang ini,
pembangunan pertanian terbawa arus eforia dan warna sosial politik. Ada
kecenderungan kebijakan pemerintah di bidang swasembada pangan mulai
terabaikan. Terbukti pada awal reformasi sampai sekarang ini anggaran di sektor
pertanian tidak terlalu besar. Untuk APBN terakhir hanya sebesar Rp 9 triliun.
Disamping itu ada indikasi karena hiruk pikuknya kebijakan desentralisasi
sehingga program swasembada pangan justru terabaikan. Isu-isu lainnya juga
membuat kebijakan ini tidak optimal, karena alasan partisipasi rakyat serta
mekanisme pasar sudah berjalan, artinya petani sudah menyadari mana komoditas
yang menguntungkan maka mereka akan menanamnya. Ada permintaan tinggi maka
mereka secara otomatis akan memenuhi supply-nya. Tetapi kenyataannya berbeda,
petani Indonesia masih perlu dibimbing yang sejalan dengan program pemerintah.
Kalau kita cermati selama ini,
kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil terkait dengan berbagai isu
lonjakan harga komoditi pangan sungguh membingungkan. Kebijakan pemerintah yang
ditempuh selama ini cenderung hanya responsif yang mempunyai implikasi jangka
pendek, padahal permasalahannya menyangkut jangka panjang. Kita ambil contoh
kebijakan mengenai minyak goreng tahun lalu, pemerintah kemudian tergopoh-gopoh
dengan menaikkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO). Kebijakan ini akhirnya
tidak juga efektif, sampai akhirnya pemerintah merelakan merogoh kocek
anggarannya dengan mengambil kebijakan klasik berupa subsidi minyak goreng,
sebagai pro poor. Alangkah sederhananya menyetel sebuah paket kebijakan yang
kelihatan grabak-grubuk itu. Padahal permasalahannya tidak sesederhana itu.
Akhirnya kebijakan ini tidak tuntas. Kita yakin suatu saat permasalahan ini
akan muncul kembali. Dan, instrumen klasik seperti subsidi digunakan lagi
sebagai senjata pamungkasnya, sehingga beban anggaran juga semakin berat.
Sekarang pemerintah disibukkan lagi dengan melonjaknya berbagai harga komoditas
pangan kita, termasuk harga kedelai. Kita berharap kebijakan pemerintah yang
diambil akan tuntas. Tidak hanya kebijakan jangka pendek, tetapi semestinya
pemerintah mengambil kebijakan yang lebih permanen dan menyeluruh. Karena
secara jangka panjang kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring kesadaran
masyarakat untuk hidup sehat. Jadi, swasembada pangan selalu menjadi prioritas.
Jangan sampai pemerintah seolah gengsi untuk melanjutkan kebijakan pemerintah
Orde Baru, apalagi kebijakan-kebijakan Orde Baru tidak selalu jelek.
Sudah saatnya pemerintah memikirkan
sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, sektor yang dianggap tidak penting
di era reformasi. Untuk itu, perlu kebijakan serupa insentif perbankan,
perbaikan infrastruktur pertanian dan lain-lain, yang mendorong kaum muda
terlibat dan bersama-sama menuju cita-cita swasembada pangan.
Swasembada
Terkendala Ketersediaan Lahan
Masalah ketersediaan lahan menjadi
kendala utama pencapaian swasembada pangan.Menteri Pertanian Suswono
mengatakan, upaya pencapaian swasembada pangan, khususnya untuk produksi padi,
jagung, kedelai, dan gula, masih menghadapi sejumlah kendala, salah satunya
terkait masalah keterbatasan lahan pertanian di dalam negeri.
Untuk mencapai swasembada pangan
berkelanjutan, pemerintah menetapkan peningkatan produksi jagung sebesar 10
persen per tahun, kedelai 20 persen, daging sapi 7,93 persen, gula 17,56
persen, dan beras 3,2 persen per tahun. Untuk mencapai target ini, diperlukan
peningkatan areal pertanaman, seperti untuk swasembada gula, dibutuhkan lahan
tambahan seluas 350.000 hektare (ha) dan kedelai dibutuhkan lahan seluas
500.000 ha. Tapi, ada kendala. Hingga saat ini pun belum ada kepastian soal
lahan,” ujarnya.
Kondisi ini menjadikan satu lahan
pertanian terpaksa dimanfaatkan untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan
secara bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis
dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika menggenjot produksi
kedelai, misalnya, maka produksi jagung akan turun. Ini karena lahan yang ada
dimanfaatkan untuk kedelai dansebaliknya Selama ini kedua komoditas itu ditanam
secara bergantian.Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional telah menjanjikan lahan
2 juta ha dari total lahan yang telantar 7,3 juta ha untuk areal penanaman
pangan. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan soal lahan tersebut
Lebih jauh Suswono menjelaskan,
kendala lain yang dihadapi dalam pencapaian swasembada pangan terkait masih
tingginya alih fungsi (konversi! lahan pertanian ke nonpertanian. Saat ini,
konversi lahan pertanian telah mencapai 100.000 ha per tahun. Sedangkan
kemampuan pemerintah dalam menciptakan lahan baru hanya maksimal 30.000 ha, sehingga
setiap tahun justru terjadi pengurangan lahan pertanian.Di samping itu,
perubahan iklim yang mengakibatkan cuaca tidak menentu serta keterbatasan
anggaran juga berdampak terhadap upaya swasembada produk strategis tersebut
Di lain pihak, Suswono mengingatkan
pemerintah daerah untuk mewaspadai serangan hama wereng batang cokelat pada
tanaman padi. Apalagi hingga saat ini telah menyebabkan kerugian petani di
sejumlah daerah. Jika serangan wereng tersebut semakin meluas, maka
dikhawatirkan bisa mengganggu ketahanan pangan nasional. “Perhatian aparatur di
daerah bisa meminimalisasi dampak serangan wereng.Tentunya ini juga akan
menyelamatkan petani dari kerugian ekonomi yang lebih besar.” tuturnya.
Karena itu. Kementerian Pertanian
meminta para kepala dinas pertanian di daerah, yang juga merupakan sekretaris
dewan ketahanan pangan provinsi dan kabupaten/-kota, untuk mengambil inisiatif
dalam upaya mengoordinasikan pengendalian hama wereng batang cokelat. Selain
itu juga penguasaan koordinasi intra serta antarlembaga pemerintah, baik di
tingkat pusat, daerah, maupun di lapangan.Sementara itu, Direktur Perlindungan
Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Ati Wasiati menyebutkan, berdasarkan
laporan periode 18 Mei 2010, luas pertanaman padi yang terkena serangan wereng
seluas 26.008 hektare, di mana 268 hektare mengalami puso. Serangan wereng
menyebar di 130 kabupaten di Indonesia.
Faktor
Untuk Mencapai Swasembada Pangan
Radius Prawiro pada tahun 1998
menjabarkan beberapa langkah kunci yang pernah diambil dalam perjalanan ke arah
swasembada beras, diantaranya:
1. Bulog, Dewan Logistik Pangan, dan
Harga-harga Beras.
Di antara lembaga-lembaga tersebut,
Buloglah yang paling berperan dalam pencapaian swasembada beras. Bulog tidak
terlibat langsung dalam bisnis pertanian, melainkan hanya dalam urusan
pengelolaan pasokan dan harga pada tingkat ansional.
Bulog sengaja diciptakan untuk
mendistorsi mekanisme harga beras dengan manipulasi untuk memelihara pasar yang
lebih kuat. Selama tahun-tahun pertamanya dalam dekade 70-an, Bulog secara
bertahap menaikkan harga dasar beras untuk petani. Pada pertengahan dekade
80-an, ketika Indonesia surplus beras, Bulog mengekspor beras ke luar negeri
untuk mencegah jatuhnya harga. Tindakan ini membantu memelihara stabilitas
pasar.
2. Teknologi dan Pendidikan.
Sejak tahun 1963, Indonesia
memperkenalkan banyak program kepada para petani untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani. Pemerintah berjuang untuk memperkenalkan teknologi
pertanian kepada para petani.
Di samping itu, pemerintah juga menekankan
pendidikan untuk menjamin teknik dan teknologi baru dimengerti dan digunakan
secara benar agar dapat meningkatkan produksi pangan. Faktor lain yang berperan
penting dalam meningkatkan hasil padi adalah peningkatan penggunaan pupuk
kimia.
3. Koperasi Pedesaan.
Pada tahun 1972, ketika Indonesia
kembali mengalami panen buruk, pemerintah menganjurkan pembentukan koperasi
sebagai suatu cara untuk memperkuat kerangka kerja institusional. Ada dua
bentuk dasar dari koperasi, pada tingkat desa ada BUUD (Badan Usaha Unit Desa).
Pada tingkat kabupaten, ada koperasi
serba usaha yang disebut KUD (Koperasi Unit Desa). Koperasi juga bertindak
sebagai pusat penyebaran informasi atau pertemuan organisasi.
4. Prasarana.
Banyak aspek pembangunan prasarana
yang secara langsung ditujukan untuk pembangunan pertanian, dan semuanya secara
langsung memberikan kontribusi untuk mencapai swasembada beras. Sistem irigasi
merupakan hal penting dalam pembangunan prasarana pertanian. Pekerjaan
prasarana lain yang berdampak langsung dalam pencapaian tujuan negara untuk
berswasembada beras adalah program besar-besaran untuk pembangunan dan
rehabilitasi jalan dan pelabuhan.
KESIMPULAN
Swasembada pangan adalah keadaan
dimana suatu negara dapat memenuhi tingkat permintaan akan suatu bahan pangan
sendiri tanpa perlu melakukan impor dari pihak luar. Dan juga swasembada pangan
adalah terhindarnya suatu negara dari kelaparan.
0 komentar:
Posting Komentar